Terkenal sebagai kota metropolitan dengan berbagai hiruk-pikuk ibu kota, kota Jakarta tetap memiliki berbagai budaya yang masih dijaga hingga saat ini, salah satunya adalah cerita rakyat yang berasal dari Jakarta. Cerita rakyat yang paling terkenal berasal dari Jakarta adalah cerita Rakyat Si Pitung.
Cerita rakyat Si Pitung yang beredar di masyarakat sebenarnya ada beberapa versi dan memiliki sudut pandang yang berbeda, namun pada umumnya karakter Si Pitung digambarkan sebagai sosok pemberani yang menjunjung keadilan tinggi, dan menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap penindasan kolonialisme pada waktu itu, dia digambarkan sebagai pendekar ulung yang siap membela rakyat kecil dari tindakan sewenang-wenang penguasa.
Lalu seperti apa cerita rakyat Si Pitung ini? Yuk simak cerita selengkapnya berikut ini ya.
Si Pitung: Legenda Betawi Sang Pembela Kaum Tertindas
Di masa penjajahan Belanda di tanah Batavia, lahirlah seorang anak lelaki bernama Ahmad Nitikusumah, yang kelak dikenal sebagai Si Pitung. Ia berasal dari keluarga sederhana di daerah Rawabelong, Jakarta. Ayahnya, Bang Piung, dan ibunya, Mak Pinah, mendidik Pitung dengan nilai-nilai agama dan kebaikan sejak dini. Ia belajar di pesantren milik Haji Naipin, di mana ia menimba ilmu agama dan juga mempelajari ilmu bela diri.
Si Pitung tumbuh menjadi anak yang cerdas, berani, dan berakhlak baik. Karakter ini membuatnya disegani oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, semangat keadilannya mulai tumbuh ketika ia melihat ketimpangan dan penindasan yang dilakukan oleh kaum penjajah dan para tuan tanah.
Uang Hasil Jual Kambing yang Dirampas
Salah satu kisah yang menjadi titik balik dalam hidup Pitung terjadi saat ia berusia 15 tahun. Suatu hari, sang ayah memintanya menjual seekor kambing ke Pasar Tanah Abang. Dengan semangat, Si Pitung menjalankan amanah itu. Ia berhasil menjual kambing tersebut dan memperoleh uang sebesar 25 gulden, jumlah yang besar untuk keluarganya kala itu.
Namun, di tengah perjalanan pulang, sekelompok bandit menghadangnya dan merampas seluruh uang hasil penjualan. Bandit tersebut dikenal sebagai “centeng”, gerombolan bayaran Belanda dan Tionghoa kaya yang kerap mengganggu rakyat kecil. Pitung kembali ke rumah dengan tangan kosong. Ia sangat sedih, dan sang ayah pun murka. Tapi kejadian ini justru menyalakan api perlawanan dalam diri Pitung.
Ia bersumpah akan menegakkan keadilan, bukan hanya untuk keluarganya, tapi juga untuk rakyat miskin yang ditindas oleh kekuasaan dan ketamakan.
Bergabung dengan Komplotan Demi Keadilan
Beberapa waktu kemudian, Si Pitung kembali bertemu dengan para perampok yang dahulu merampas uangnya. Kali ini, dengan keterampilan bela diri yang telah diasah di pesantren, Pitung melawan mereka. Pertarungan berlangsung sengit, namun kemampuan Pitung memukau keenam pemuda dalam kelompok itu: Abdoelrachman, Moedjeran, Dji-ih, Merais, Gering, dan Jampang.
Mereka akhirnya mengajak Pitung bergabung, namun Pitung mengajukan satu syarat: hasil rampokan hanya akan digunakan untuk membantu rakyat miskin. Mereka setuju. Maka, terbentuklah kelompok perlawanan rakyat yang mulai menebar ketakutan di kalangan tuan tanah dan penjajah yang zalim.
Baca Juga: Cerita Rakyat Jaka Tarub dan 7 Bidadari dari Jawa Tengah
Aksi Tipu Daya di Kantor Maester Cornelis
Aksi terkenal pertama kelompok ini adalah menyamar di wilayah Meester Cornelis (kini Jatinegara). Saat itu, seorang tuan tanah kaya bernama Haji Saipudin menyimpan banyak harta dan dikenal sewenang-wenang terhadap rakyat.
Si Pitung mencuri seragam petugas Belanda dan menyamar sebagai Demang Maester Cornelis, pejabat lokal. Dengan percaya diri, ia mendatangi Haji Saipudin dan membawa surat palsu yang menyatakan bahwa uang miliknya harus disimpan sementara di kantor Maester Cornelis demi keamanan.
Tanpa curiga, Haji Saipudin menyerahkan harta tersebut kepada Pitung yang kemudian melarikan diri bersama komplotannya. Harta itu pun dibagi-bagikan kepada rakyat miskin. Aksi ini semakin menguatkan reputasi Si Pitung sebagai “Robin Hood dari Betawi”.
Terus Diburu, Tapi Sulit Ditangkap
Kabar mengenai aksi-aksi Si Pitung menyebar luas. Ia merampok hanya dari orang-orang kaya atau aparat kolonial, lalu membagikan hasilnya pada rakyat kecil. Rakyat Betawi mulai memujanya sebagai pahlawan yang berani melawan ketidakadilan.
Pemerintah kolonial Belanda menjadi geram. Mereka menawarkan hadiah sebesar 400 gulden bagi siapa saja yang bisa menangkap Si Pitung. Namun, upaya demi upaya selalu gagal. Si Pitung dikenal sakti dan sangat sulit ditangkap. Ia lihai dalam menyamar dan selalu satu langkah lebih cepat dari aparat.
Bahkan, banyak yang percaya bahwa Si Pitung kebal peluru. Cerita berkembang bahwa kesaktiannya berasal dari rambut panjangnya yang tak boleh dipotong, serta doa-doa yang ia pelajari selama di pesantren.
Baca Juga: Cerita Rakyat Legenda Rawa Pening dan Pesan Moral di Baliknya
Gugurnya Sang Legenda
Namun, takdir berkata lain. Dalam sebuah pertempuran yang berlangsung sengit, Si Pitung akhirnya gugur. Ia tertangkap oleh seorang polisi Belanda bernama Van Hinne, yang konon berhasil mengalahkannya karena Si Pitung sempat memotong rambutnya sehari sebelum itu, sehingga hilanglah kesaktiannya.
Tubuhnya roboh, namun semangat perjuangannya tetap membara. Ia dimakamkan di TPU Kebon Jeruk, dan makamnya hingga kini masih diziarahi sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan rakyat kecil.
Warisan dan Pengaruh Si Pitung
Meskipun Si Pitung telah tiada, namanya tetap hidup dalam hati masyarakat Betawi. Ia bukan hanya sosok pahlawan, tapi juga simbol perlawanan terhadap ketidakadilan sosial. Dalam berbagai pertunjukan lenong, wayang orang, hingga sinetron, kisah Si Pitung terus diangkat dan dikenang.
Warga Betawi percaya bahwa arwah Si Pitung masih menjaga mereka. Makamnya dikeramatkan, dan banyak yang meyakini bahwa semangatnya tetap melindungi kaum lemah dari kezaliman.
Baca Juga: Cerita Rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih yang Penuh Nilai Moral
Pesan Moral dari Kisah Si Pitung
Cerita Si Pitung memberikan pelajaran berharga bagi kita semua, di antaranya:
- Perjuangan untuk keadilan tidak mengenal usia dan latar belakang. Pitung adalah anak muda yang berani bertindak demi kebenaran.
- Harta bukanlah segalanya. Pitung tidak pernah memperkaya diri sendiri, melainkan membagikan hasil perjuangannya kepada orang yang membutuhkan.
- Kecerdasan dan akhlak adalah senjata utama. Ia tak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tapi juga strategi dan nilai-nilai agama.
- Meski niatnya baik, cara yang ditempuh tetap harus bijak. Perampokan tetaplah perampokan, sehingga dalam dunia modern, perjuangan harus ditempuh melalui jalur yang benar.
- Nama baik akan dikenang jika hidup kita bermanfaat untuk orang lain.
Yupiers, kisah Si Pitung bukan sekadar cerita rakyat dari masa lalu, tapi pengingat bahwa keberanian dan niat baik bisa menginspirasi perubahan. Semoga semangat perjuangannya tetap hidup dalam hati kita, berani, adil, dan membela yang tertindas.