Yupiers, kalau kita bicara soal Kota Pahlawan, apa yang langsung terlintas di pikiran kalian? Patung ikonik seekor hiu dan buaya yang sedang bertarung melingkar, kan? Monumen itu bukan sekadar hiasan kota, tapi representasi visual dari legenda urban paling hardcore di Jawa Timur: Kisah Sura dan Baya.
Kali ini, Yumin mau ajak kalian time travel ke masa lalu, ke era di mana lautan dan daratan masih diperebutkan oleh dua monster raksasa. Nama Surabaya sendiri secara etimologi sering dikaitkan dengan gabungan kata "Sura" (ikan hiu/berani) dan "Baya" (buaya/bahaya). Ada juga interpretasi filosofis Jawa "Sura Ing Baya", yang berarti "berani menghadapi bahaya".
Berbeda dengan kisah drama keluarga seperti di cerita Malin Kundang yang penuh air mata, legenda Surabaya ini murni bergenre action-thriller. Ini adalah kisah tentang perebutan kekuasaan, diplomasi yang gagal, dan pengkhianatan janji (truce) yang berujung fatal. Siap menyaksikan pertarungan dua predator puncak ini? Yuk, kita simak!
Kenalan dengan Para Tokoh dan Simbolismenya
Di balik taring tajam dan kulit keras mereka, kedua tokoh ini mewakili sifat dasar manusia dalam konflik, lho:
- Sura (Hiu): Simbol Oportunisme & Ekspansi. Sura mewakili sifat yang tidak pernah puas. Meski sudah menguasai lautan luas, ia masih melirik wilayah lain (sungai) karena merasa bosan atau serakah.
- Baya (Buaya): Simbol Kedaulatan & Pertahanan. Baya adalah tipe yang tenang jika tidak diganggu, tapi akan sangat defensif dan ganas jika wilayah kekuasaannya (teritori) diusik.
- Air Merah (Darah): Simbol Harga Sebuah Konflik. Perubahan warna air menjadi merah di akhir cerita adalah pengingat bahwa setiap pertikaian fisik pasti meninggalkan bekas luka dan kerugian bagi kedua belah pihak.
Kisah Lengkap: Pertarungan Penguasa Air dan Darat
Dua Raja Tanpa Mahkota
Dahulu kala, di lautan luas sebelah utara Jawa Timur, hiduplah seekor ikan hiu raksasa bernama Sura. Ia adalah penguasa mutlak lautan. Tidak ada satu pun ikan yang berani melawannya. Namun, Sura sering merasa bosan karena tidak ada lawan yang sepadan.
Di sisi lain, di muara sungai yang bermuara ke laut tersebut, hiduplah seekor buaya muara yang sangat ganas bernama Baya. Kulitnya sekeras batu karang, giginya setajam belati. Ia adalah penguasa wilayah perairan dangkal dan daratan tepi sungai.
Keduanya sama-sama kuat, sama-sama tangkas, dan sama-sama ganas. Seringkali, saat mereka sedang berburu mangsa di perbatasan wilayah, mereka terlibat perkelahian sengit.
Sura menerjang dengan gigitannya yang mematikan, Baya menangkis dengan kibasan ekornya yang kuat.
DUAR! BYUR!
Air laut bergolak setiap kali mereka bertarung. Namun, karena kekuatan mereka seimbang, pertarungan itu tidak pernah menghasilkan pemenang. Hanya rasa lelah dan luka-luka di tubuh mereka yang tersisa.
Perjanjian Gencatan Senjata
Suatu hari, setelah pertarungan yang melelahkan selama berhari-hari tanpa hasil, Sura dan Baya terengah-engah di pinggir pantai.
"Aku bosan terus-menerus berkelahi sepertimu, Baya," kata Sura sambil mengatur napas insangnya.
"Aku juga, Sura," jawab Baya dengan suara berat. "Apa maumu sekarang?"
Sura, yang cukup cerdik, mengajukan sebuah ide. "Kita harus membagi wilayah kekuasaan agar tidak perlu berebut mangsa lagi. Mulai hari ini, aku berkuasa sepenuhnya di dalam air laut (samudra). Dan kau, Baya, berkuasa di daratan dan air tawar (sungai). Batasnya adalah tempat di mana air laut bertemu air sungai saat pasang surut."
Baya berpikir sejenak. Tawaran itu terdengar adil. "Baiklah, aku setuju! Jangan pernah kau melanggar batas ini, Sura."
"Sepakat!" seru Sura.
Dengan perjanjian itu, kedamaian pun tercipta. Mirip seperti ketenangan sesaat di kisah cerita Danau Toba sebelum janji dilanggar, alam pun menjadi tenang. Ikan-ikan hidup damai, dan kedua predator itu berburu di wilayah masing-masing.
Keserakahan yang Membatalkan Janji
Bulan berganti tahun, Sura mulai merasa gelisah. Stok mangsa di lautan memang banyak, tapi ia bosan dengan rasa ikan laut. Ia mulai penasaran dengan rasa daging hewan yang ada di sungai.
Diam-diam, saat Baya sedang tidur atau lengah, Sura menyelinap masuk ke muara sungai. Ia berburu ikan-ikan sungai, bahkan sesekali menyambar anak kijang yang sedang minum di tepi sungai.
"Hmm, lezat sekali. Baya tidak akan tahu," pikir Sura meremehkan.
Awalnya, rencananya berjalan mulus. Namun, Baya mulai curiga. Ia menyadari mangsanya semakin berkurang. Insting predatornya mengatakan ada penyusup. Baya pun menyusun rencana. Ia bersembunyi di balik semak-semak sungai, menahan napas, menunggu si pencuri datang.
Benar saja! Tak lama kemudian, Sura muncul dari balik air keruh sungai, hendak menyergap seekor monyet.
Konfrontasi di Muara
"SURA!!!" Teriak Baya menggema, membuat air sungai bergetar.
Sura terkejut, tapi ia mencoba bersikap santai. "Hei, Baya. Kenapa kau berteriak-teriak?"
"Apa yang kau lakukan di sini?!" bentak Baya marah. "Kau melanggar perjanjian kita! Ini sungai, ini wilayahku!"
Sura yang pandai bersilat lidah menjawab dengan enteng, "Tenang dulu, Kawan. Coba pikirkan. Sungai ini isinya air, kan? Aku adalah hewan air. Jadi, sah-sah saja kalau aku berenang di sini. Bukankah aku penguasa air?"
Logika Sura yang "maksa" ini membuat Baya murka. "Kau sengaja mencari gara-gara, Sura! Sungai ini bermuara di laut, tapi ini tetap daratan berair tawar, bukan lautan luas! Kau serakah!"
Sifat Sura yang melanggar aturan demi keinginan pribadi ini mengingatkan kita pada kekacauan yang terjadi dalam cerita rakyat Sangkuriang saat nafsunya tak terbendung.
"Kalau begitu, mari kita buktikan siapa yang terkuat untuk menguasai tempat ini!" tantang Sura.
Pertempuran Berdarah dan Asal Nama Surabaya
Pertarungan kali ini jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Tidak ada yang menahan diri. Amarah Baya memuncak karena merasa dikhianati, sementara Sura bertarung demi ego dan gengsinya.
Mereka saling menerkam, menggigit, dan memukul. Air sungai yang tadinya jernih berubah menjadi keruh bercampur darah.
Dalam satu momen krusial, Sura berhasil menggigit ekor Baya. Baya menjerit kesakitan, tapi ia tidak menyerah. Dengan sisa tenaga, Baya memutar tubuhnya dan balik menggigit pangkal ekor Sura dengan rahangnya yang sangat kuat.
KRAK!
Baya menggigit begitu keras hingga ekor Sura nyaris putus.
Sura yang kesakitan luar biasa akhirnya menyerah. Ia tidak sanggup lagi melawan keganasan Baya yang mempertahankan rumahnya. Sura pun lari terbirit-birit kembali ke lautan luas dan bersumpah tidak akan pernah kembali ke sungai.
Baya puas karena berhasil mempertahankan wilayahnya, meski ia harus cacat seumur hidup karena ekornya terluka parah. Wilayah bekas pertarungan dahsyat yang membuat air menjadi merah oleh darah itu kemudian dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Surabaya.
Peristiwa ini begitu melegenda, sebanding dengan kisah-kisah besar lainnya seperti pembangunan seribu candi dalam cerita rakyat Roro Jonggrang, hingga akhirnya lambang Hiu dan Buaya diabadikan sebagai simbol kota.
Makna Mendalam dan Pesan Moral
Kisah Sura dan Baya bukan cuma soal siapa yang menang adu kuat, Yupiers. Ada pelajaran moral deep banget di sini:
- Integritas dan Menepati Janji: Konflik besar terjadi karena Sura melanggar perjanjian yang sudah disepakati (Gencatan Senjata). Dalam hidup, sekali kita melanggar kepercayaan orang, akan sulit untuk memperbaikinya kembali.
- Bahaya Keserakahan (Greed): Sura sudah punya lautan luas, tapi masih menginginkan sungai. Sifat tidak pernah puas (kurang bersyukur) seringkali menjadi awal dari kehancuran diri sendiri.
- Mempertahankan Kedaulatan: Sikap Baya mengajarkan kita untuk tegas dan berani mempertahankan apa yang menjadi hak milik kita, meskipun harus berhadapan dengan lawan yang kuat.
Nah, itulah asal usul Kota Surabaya yang penuh aksi! Semoga semangat "Wani" (berani) dari legenda ini bisa menular ke Yupiers dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari. Sampai jumpa di petualangan dongeng berikutnya!
