menu
logo mobile
sound
Yupi Good Talent Yupiland Store Meet Your Heroes Collaborations Yupi Diary What's Happening Our Story Cool Pics Here Say Hi! FAQ It's Game Time Terms & Condition

Anak Sering Tantrum? Ini Cara Mengendalikan Emosi Anak Secara Positif!

Anak sering tantrum dan bikin pusing? Tenang! Yuk, pelajari cara positif mengendalikan emosi anak dan membangun kecerdasan emosional si Kecil.

Hai Yupiers! Yumin mau tanya nih, siapa yang pernah merasa kewalahan atau bingung saat si Kecil tiba-tiba menangis kencang, melempar mainan, atau berguling-guling di lantai supermarket? Wah, rasanya campur aduk ya, antara kaget, bingung, sedikit malu (kalau di tempat umum), dan tentu saja khawatir.

Momen "ledakan" emosi yang besar dan tiba-tiba ini sering kita sebut sebagai tantrum. Rasanya, hampir semua orang tua pernah mengalaminya. Kadang kita berpikir, "Kenapa sih anakku begini?" atau "Apa aku salah mengasuhnya?"

Eits, tunggu dulu! Tarik napas pelan-pelan ya, Yupiers. Punya anak yang sedang dalam fase tantrum itu bukan berarti Yupiers adalah orang tua yang gagal. Justru sebaliknya, ini adalah bagian yang sangat normal dari proses tumbuh kembang mereka.

Tantrum adalah sinyal. Sinyal bahwa si Kecil sedang belajar mengenali perasaan besar di dalam dirinya, tapi belum tahu cara mengelolanya. Nah, tugas kita sebagai orang tua adalah menjadi "pelatih emosi" mereka.

Jadi, di artikel kali ini, Yumin mau ajak Yupiers untuk menyelami dunia emosi si Kecil. Kita akan belajar bareng mengapa anak bisa tantrum dan bagaimana cara positif untuk membantu mereka mengendalikan emosi, tanpa marah-marah atau menghukum. Yuk, kita mulai!

Kenapa Sih Anak Bisa Tantrum? (Bukan Cuma Cari Perhatian, Lho!)

Banyak yang mengira tantrum itu murni akal-akalan anak. Padahal, ada alasan ilmiah dan psikologis yang jauh lebih dalam di baliknya, termasuk jenis dan penyebab tantrum yang perlu dipahami orang tua.

1. Otak yang Masih "Under Construction"

Ini nih biang keladi utamanya. Coba bayangkan otak anak seperti gedung yang sedang dibangun. Bagian otak yang mengelola emosi (amigdala) sudah bekerja dengan sangat aktif sejak dini. Inilah yang membuat mereka bisa merasakan marah, sedih, atau frustrasi dengan sangat kuat.

Tapi, bagian otak yang berfungsi sebagai "rem" atau pusat kendali (korteks prefrontal)yang tugasnya berpikir logis, mengontrol impuls, dan mencari solusimasih dalam tahap pengembangan besar-besaran. Menurut Center on the Developing Child di Universitas Harvard, bagian otak ini baru akan matang sempurna saat seseorang berusia 20-an tahun!

Jadi, saat si Kecil tantrum, itu ibarat mobil yang gasnya (emosi) dipencet penuh, tapi remnya (logika) belum berfungsi optimal. Wajar kan kalau "meluncur" kencang?

2. Keterbatasan Bahasa dan Komunikasi

Balita seringkali merasakan emosi yang kompleks, tapi mereka belum punya "kamus" kata-kata untuk menjelaskannya.

Mereka belum bisa bilang, "Bunda, aku merasa kecewa karena menara balok yang sudah aku susun tinggi-tinggi tiba-tiba roboh." Yang bisa mereka lakukan adalah... menangis kencang dan melempar sisa baloknya. 

Tantrum adalah bentuk komunikasi. Ini cara mereka bilang, "Ada yang nggak beres di dalam diriku, dan aku butuh bantuanmu!"

3. Kebutuhan Dasar yang Belum Terpenuhi (HALT)

Kadang, penyebabnya bisa sangat sederhana. Coba ingat-ingat singkatan HALT:

  • Hungry (Lapar): Gula darah turun bikin emosi gampang tersulut.
  • Angry (Marah): Ada pemicu spesifik, misalnya mainan direbut.
  • Lonely (Kesepian): Butuh koneksi atau pelukan dari orang tua.
  • Tired (Lelah): Kurang tidur atau overstimulasi (terlalu banyak rangsangan).

Saat kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi, "sumbu" emosi anak jadi jauh lebih pendek dan mereka jadi lebih mudah meledak.

Positive Parenting Kunci Mengendalikan Emosi Anak

Nah, karena kita sudah tahu penyebabnya bukan murni "kenakalan", maka solusinya juga bukan hukuman atau bentakan. Pendekatan Positive Parenting (pengasuhan positif) adalah kuncinya dan salah satu tips parenting-nya.

Fokus dari positive parenting adalah membangun hubungan yang kuat dan hangat (connection), sebelum melakukan perbaikan perilaku (correction). Saat anak merasa terhubung dan dipahami, mereka akan lebih mudah diajak bekerja sama.

Ini bukan berarti kita membiarkan anak melakukan segalanya, ya. Aturan tetap ada, tapi cara kita menyampaikannya penuh dengan empati.

Langkah Praktis Saat "Badai" Tantrum Tiba

Oke, sekarang skenarionya: si Kecil mulai tantrum di depan mata. Apa yang harus dilakukan?

Langkah 1: Tenangkan Diri Yupiers Dulu!

Ini adalah langkah paling penting dan seringkali paling sulit. Ingat, emosi itu menular. Kalau kita panik, berteriak, atau ikut marah, "api" tantrum si Kecil justru akan semakin membesar.

Tarik napas dalam-dalam. Ingatkan diri sendiri: "Ini normal. Anakku tidak sedang menyerangku, dia sedang kesulitan." Ketika Yupiers tenang, Yupiers mengirimkan sinyal keamanan ke otak anak.

Langkah 2: Validasi, Validasi, Validasi!

Daripada bilang, "Gitu aja kok nangis?" atau "Jangan cengeng!", coba gunakan validasi emosi. Validasi artinya kita mengakui dan menerima perasaan anak, meskipun kita tidak setuju dengan perilakunya.

Contoh kalimat validasi:

  • "Mama tahu Adek marah ya karena mainannya diambil Kakak."
  • "Pasti sedih ya lihat es krimnya jatuh."
  • "Kamu kecewa ya karena kita harus pulang sekarang dari mall?"

Dengan memvalidasi, anak merasa didengar. Ini adalah langkah pertama untuk menurunkan intensitas emosinya.

Langkah 3: Beri Nama pada Emosi (Emotional Literacy)

Setelah memvalidasi, bantu anak mengenali nama emosinya. Ini adalah dasar dari kecerdasan emosional (EQ). Menurut panduan perkembangan anak dari UNICEF, kemampuan mengenali dan memberi nama emosi adalah keterampilan hidup yang krusial.

"Oh, rasanya kesal ya di dada?"

"Itu namanya frustrasi, saat sesuatu tidak berjalan sesuai keinginan kita."

Saat anak punya "kamus emosi", kelak mereka akan beralih dari menunjukkan emosi (tantrum) menjadi menceritakan emosi.

Langkah 4: Tawarkan Bantuan, Bukan Hukuman

Hindari time-out yang bersifat menghukum (menyuruh anak ke pojokan sendirian). Anak yang tantrum justru sedang butuh "manajer emosi" eksternal, yaitu kita.

Coba tawarkan time-in:

  • "Mau Mama peluk biar lebih tenang?"
  • "Kita duduk di sofa dulu yuk, kita atur napas sama-sama."
  • "Kamu boleh marah, tapi tidak boleh melempar barang ya. Melempar itu menyakiti."

Fokusnya adalah menjaga keamanan (tidak melukai diri sendiri, orang lain, atau merusak barang) sambil tetap menemaninya melewati "badai".

Investasi Jangka Panjang: Membangun Kecerdasan Emosional (EQ) Sehari-hari

Mengatasi tantrum itu penting, tapi "mencegah" tantrum dan mendidik anak yang baik di masa depan jauh lebih penting. Ini dilakukan bukan saat anak sedang emosi, tapi di saat-saat tenang setiap hari.

Jadilah Role Model yang Baik

Anak belajar regulasi emosi terbaik dengan meniru orang tuanya. Tunjukkan pada mereka bagaimana Yupiers mengelola emosi.

Tidak apa-apa kok bilang, "Wah, Mama lagi kesal nih karena kerjaan numpuk. Mama minum air putih dan tarik napas dulu ya sebentar." Ini mengajarkan mereka strategi coping yang sehat.

Ciptakan Momen Bermain dan Koneksi

Koneksi adalah fondasi emosi yang kuat. Pastikan Yupiers punya waktu khusus setiap hari untuk bermain bersama si Kecil, di mana perhatian Yupiers 100% untuk mereka untuk menciptakan koneksi. Saat "tangki cinta" mereka penuh, mereka cenderung lebih resilien secara emosional.

Apresiasi Usaha, Bukan Cuma Hasil

Saat Yupiers melihat si Kecil berhasil mengelola emosinyameskipun baru sedikit berikan pujian spesifik.

Bukan cuma "Anak pintar!" tapi, "Wah, tadi Mama lihat kamu kesal karena sepatunya susah dipakai, tapi kamu tetap berusaha dan tidak melempar sepatunya. Hebat! Mama bangga kamu bisa sabar."

Selain fokus pada emosi, pastikan juga kebutuhan fisik dan kognitif terpenuhi. Anak yang cerdas dan mampu belajar dengan baik ditunjang oleh porsi makan seimbang dan kebiasaan agar pintar sejak dini.

Kapan Harus Waspada?

Yumin harus sampaikan juga ya, meskipun tantrum itu normal, ada beberapa kondisi "lampu kuning" di mana Yupiers mungkin perlu berkonsultasi dengan profesional (seperti psikolog anak atau dokter anak):

  1. Tantrum yang sangat sering dan intens (terjadi hampir setiap hari).
  2. Anak sering melukai dirinya sendiri (memukul kepala, menggigit tangan) atau melukai orang lain saat tantrum.
  3. Tantrum masih sangat intens padahal usianya sudah di atas 5-6 tahun.
  4. Tantrum disertai dengan keluhan fisik lain atau kemunduran kemampuan (misal, yang sudah bisa bicara jadi diam).

Konsultasi bukan berarti gagal ya, tapi itu tanda Yupiers sangat peduli dan ingin memberikan dukungan terbaik untuk si Kecil. Dukungan emosional sangat penting, tidak hanya pada balita tetapi juga pada anak usia sekolah dan remaja. 

Bagi Yupiers yang memiliki anak remaja, ada baiknya memahami cara menjaga kesehatan mental remaja sebagai bentuk dukungan jangka panjang

Kesimpulan: Mengasuh Emosi adalah Maraton, Bukan Sprint!

Yupiers, mengajari anak mengendalikan emosi itu adalah sebuah proses panjang. Ini adalah maraton, bukan lari sprint 100 meter. Akan ada hari-hari baik, dan akan ada hari-hari di mana rasanya kita kembali ke titik nol. Itu semua wajar!

Ingat ya, di balik setiap ledakan tantrum, ada seorang anak kecil yang sedang berjuang memahami dunia internalnya yang rumit.

Tugas kita bukanlah menghentikan tangisnya saat itu juga, tapi mendampinginya melewati badai emosi itu. Dengan kesabaran, validasi, dan cinta yang konsisten, kita sedang membantu mereka membangun fondasi kecerdasan emosional yang kuat untuk seumur hidup mereka.

Tetap semangat ya, Yupiers! Yupiers adalah orang tua hebat yang sedang membesarkan anak-anak yang hebat.

Home Our Story Events Games Profile